Search This Blog

Monday, October 3, 2016

Ini Bukan Soal IQ

Saya lebih sering bertemu dengan anak dan remaja bahkan orang dewasa yang tampak "telat berpikir" atau bahkan "sulit berpikir" bukan karena IQ-nya rendah, dan bukan karena disabilitas belajar, tetapi karena gangguan emosional. Karena ketidakmampuan mengenali perasaan-perasaannya sendiri.

Misalnya, ketika ia mendengarkan suatu cerita bersama beberapa temannya. Yang lain langsung dan sudah paham apa yang dibicarakan, eh satu orang ini tidak mengerti juga "korelasi"nya walau beberapa kawannya sudah menjelaskan. Atau ketika diberi perintah untuk mengerjakan A atau B, ia bisa meleset mengerjakan A' atau B'. Padahal, mereka dengan gejala seperti ini ketika mengikuti tes intelijensi, skornya termasuk tinggi. Juga dapat menyelesaikan kuliah dan bahkan ada yang sampai S2 dan S3.
Seakan-akan ada batu hitam besar yang menghalangi di gang sempit berpikirnya. Apa batu besar itu?

Gangguan emosional akibat suatu atau beberapa peristiwa yang membuat dirinya kurang mampu mengenali perasaan-perasaannya sendiri.

Misalnya, seorang ibu suatu hari ditinggal begitu saja oleh suaminya. Meski di dalam hati ia menangis, menjerit, marah dan segala perasaan negatif, ia menampilkan wajah dan kata-kata yang biasa saja kepada anak-anaknya. Persoalan yang tak pernah diselesaikan itu terjadi puluhan tahun. Maka, anak-anaknya juga puluhan tahun tak pernah belajar bagaimana mengungkapkan perasaan mereka, karena mereka juga tidak tahu seperi apa perasaan mereka sendiri.

Tetapi, karena perasaan itu dipengaruhi oleh pikiran. Dan perasaan itu yang membentuk atau melahirkan tingkah laku yang dapat dilihat. Ketiganya itu mesti selaras. Jika tidak selaras, karena salah satu dari ketiganya itu mengalami hambatan, bermunculanlah berbagai jenis gangguan.

Maka, ketika melihat guru, dosen, dan kemudian teman sekerja dan bossnya melakukan ini dan itu, anak-anak atau orang dengan gangguan emosional ini sangat kesulitan mengenali apa sebenarnya pikiran dan perasaan yang mendasari perilaku yang mereka lihat itu. Begitu pula, ketika teman atau orang di sekitarnya mengutarakan pendapat, ia juga sulit merespon secara tepat karena untuk mengemukakan pendapatnya sendiri dengan benar saja ia mestilah bukan hanya punya pikiran yang tepat, tetapi juga perasaan yang tepat, agar perilakunya saat menyatakan pendapat tadi juga menjadi tepat.

Nah, sekarang kita tahu bahwa orang yang “telmi” belum tentu karena IQ-nya rendah. Anak-anak yang kurang berhasil di sekolah, sebagian besar juga bukan karena mengalami gangguan kecerdasan intelektual. Dari kasus-kasus yang saya hadapi setiap hari, malah lebih banyak yang karena gangguan emosional.

Jadi, apa yang mesti dilakukan orangtua? Pertama, kenali perasaan Anda sendiri. Ekspresikan dengan tepat (alasannya tepat) dan layak (kadarnya pas) dan dengan cara yang benar (lewat kata perasaan). Belajarlah untuk mengenali dan menerima perasaan orang lain — karena perasaan tidak dapat ditolak, hanya dapat diterima. Yang terakhir ini namanya empati. Dan kemudian, belajarlah pula berempati pada situasi dan pengalaman orang lain.

Baru setelah Anda memiliki “kecerdasan emosional” itu, ajarkan dan teladankan kepada anak-anak Anda. Jadi, bersekolah itu akhirnya juga sangat ditentukan oleh bagaimana perasaan anak-anak. Maka, didiklah anak-anak dalam berperasaan juga. DB

#EmotionalIntelligence #EmotionalDisturbance #EmotionalProblems #EmotionalDisorder

Sumber: Posting di grup WA

Sunday, March 6, 2016

Kisah Inspiratif di Balik Kecoa yang Menjijikkan

CEO Google, Sundar Pichai mulai banyak dikenal orang setelah menjabat pimpinan tertinggi raksasa perusahaan Google. Pichai terlahir di Tamil Nadu, India pada tahun 1972. Pichai dikenal oleh karyawan Google sebagai seseorang yang selalu berhasil merealisasikan rencana menjadi kenyataan. Beberapa proyek dia yang sukses yakni browser Chrome dan Android

Sundar Pichai memang dikenal sebagai orang yang ramah, cerdas, dan pekerja keras. Ada sebuah kisah inspiratif dari pidato oleh Sundar Pichai kepada anak buahnya–
Ia berpidato tentang kecoa. Kisah inspiratif dibalik kecoa yang menjijikkan.

Di sebuah restoran, seekor kecoa tiba-tiba terbang dari suatu tempat dan mendarat di seorang wanita.

Dia mulai berteriak ketakutan.

Dengan wajah yang panik dan suara gemetar, dia mulai melompat, dengan kedua tangannya berusaha keras untuk menyingkirkan kecoa tersebut.

Reaksinya menular, karena semua orang di kelompoknya juga menjadi panik.

Wanita itu akhirnya berhasil mendorong kecoa tersebut pergi tapi … kecoa itu mendarat di pundak wanita lain dalam kelompok.

Sekarang, giliran wanita lain dalam kelompok itu untuk melanjutkan drama.

Seorang pelayan wanita bergegas ke depan untuk menyelamatkan mereka.

Dalam sesi saling lempar tersebut, kecoa berikutnya jatuh pada pelayan wanita.

Pelayan wanita berdiri kokoh, menenangkan diri dan mengamati perilaku kecoa di kemejanya.

Ketika dia cukup percaya diri, ia meraih kecoa itu dengan jari-jarinya dan melemparkan nya keluar dari restoran.

Menyeruput kopi dan menonton hiburan itu, antena pikiran saya mengambil beberapa pemikiran dan mulai bertanya-tanya, apakah kecoa yang bertanggung jawab untuk perilaku heboh mereka?

Jika demikian, maka mengapa pelayan wanita tidak terganggu?

Dia menangani peristiwa tersebut dengan mendekati sempurna, tanpa kekacauan apapun.

So, para hadirin.. CEO dari India ini kemudian bertanya:

“Lalu apa yang bisa saya dapat dari kejadian tadi?”

Ia melanjutkan pidatonya..

“Dari tempat saya duduk, saya berpikir..

Kenapa 2 wanita karir itu panik, sementara wanita pelayan itu bisa dengan tenang mengusir kecoa?

Berarti jelas bukan karena kecoanya, tapi karena respon yang diberikan itulah yang menentukan. Ketidakmampuan kedua wanita karir dalam menghadapi kecoa itulah yang membuat suasana cafe jadi kacau.

Kecoa memang menjijikkan.
Tapi ia akan tetap seperti itu selamanya.
Tak bisa kau ubah kecoa menjadi lucu dan menggemaskan.

Begitupun juga dengan masalah.

Macet di jalanan, atau istri yang cerewet, teman yang berkhianat, bos yang sok kuasa, bawahan yang tidak penurut, target yang besar, deadline yang ketat, customer yang demanding, tetangga yang mengganggu, dsb.

Sampai kapanpun semua itu tidak akan pernah menyenangkan.

Tapi bukan itu yang membuat semuanya kacau. Ketidakmampuan kita untuk menghadapi yang membuatnya demikian.”

Yang mengganggu wanita itu bukanlah kecoa, tetapi ketidakmampuan wanita itu untuk mengatasi gangguan yang disebabkan oleh kecoa tersebut.

Di situ saya menyadari bahwa, bukanlah teriakan ayah saya atau atasan saya atau istri saya yang mengganggu saya, tapi ketidakmampuan saya untuk menangani gangguan yang disebabkan oleh teriakan merekalah yang mengganggu

Reaksi saya terhadap masalah itulah yang sebenarnya lebih menciptakan kekacauan dalam hidup saya, melebihi dari masalah itu sendiri.
Apa hikmah dibalik kisah inspiratif dari pidato ini?

Para wanita bereaksi, sedangkan pelayan merespon.

Reaksi selalu naluriah sedangkan respon selalu dipikirkan baik-baik.

Sebuah cara yang indah untuk memahami HIDUP.

Orang yang BAHAGIA bukan karena semuanya berjalan dengan benar dalam kehidupannya..

Dia BAHAGIA karena sikap hatinya dalam menanggapi segala sesuatu di kehidupannya benar..!

Itulah kira-kira hikmah yang dapat diambil dari sebuah kisah inspiratif dari pidato CEO Google, Sundar Pichai.

"Masalah adalah sebuah masalah ..... RESPONSE kita lah yg akan menentukan bagaimana akhir dari sebuah masalah"

Sumber: Grup WA

Saturday, January 9, 2016

Jangan Memperlakukan Orang Lain Semena-mena.

UNTUK PARA WANITA DAN PARA ISTRI.. Jangan memperlakukan orang lain semena-mena.

Sebagai istri saya tentu ingin disayang suami.
Belajar masak, rajin bersih-bersih rumah, berlaku lembut penuh cinta kepada suami, dan berusaha hemat dalam penggunaan uang belanja biar disebut istri cerdas & yang tersayang.

Setiap kali belanja kemanapun, saya pasti ngotot berusaha menawar dagangan dengan harga semurah mungkin. Diskon seribu dua ribu saya kejar, padahal energi yang dikeluarkan untuk tawar-menawar panjang bisa lebih dari itu. Tapi demi disayang suami, saya tetep ngotot. Tak jarang suami yang mengantar mulai tidak sabar & geleng-geleng kepala. Saya sih cuek saja, istri pelitnya ini selalu beralasan sama, kan biar hemat.

Suatu sore setelah lelah keliling pasar, di perjalanan menuju parkiran mobil seorang pedagang tanaman bunga yang berusia sepuh menawarkan dagangannya:

Pedagang: “Neng, beli neng dagangan bapak, bibit bunga mawar 5 pot cuma 25.000 per pot”
Tadinya saya cuek, tapi tiba-tiba teringat pekarangan mungil di rumah yang kosong, wah murah nih pikir saya, cuma 25.000/pot, tapi ah pasti bisa ditawar.
Saya: “Ah mahal banget pak 25.000, udah 10.000/pot,” dengan gaya cuek saya menawar sadis.
Pedagang: “Jangan neng, ini bibit bagus. Bapak jual udah murah, 15.000 aja gimana neng bapak udah sore mau pulang.”
Saya ragu sejenak, memang murah sih. Di toko, bibit bunga mawar paling tidak 45.000 harga 1 pot nya. Tapi bukan saya dong kalau tidak berjuang.
Saya: “Halah udah pak, 10.000 ribu aja 1 kalau gak dikasih ya gak apa-apa,” saya berlagak hendak pergi.
Pedagang: “Eh neng…,” dia ragu sejenak dan menghela nafas. “Ya sudah neng gak apa-apa 10.000, tapi neng ambil semuanya ya, bapak mau pulang udah sore.”
Saya: (Saya bersorak dalam hati. Yeee…menang) “Oke pak, jadi 50.000 ribu ya utk 5 pot. Bawain sekalian ya pak ke mobil saya, tuh yang di ujung parkiran.”

Saya pun melenggang pergi menyusul suami yang sudah duluan. Si bapak pedagang mengikuti di belakang. Sesampainya di parkiran, si bapak membantu menaruh pot-pot tadi ke dalam mobil, saya membayar 50.000 lalu si bapak tadi segera pergi. Lalu terjadilah percakapan berikut dengan suami,

Saya: “Bagus kan yang, aku dapet 5 pot bibit bunga mawar harga murah.”
Suami: “Oohh..berapa kamu bayar ?”
Saya: “50 ribu.”
Suami: “Hah…!!! Itu semua 5 pot ?” dia kaget
Saya: “Iya dong… hebat kan aku nawarnya ?
Tadi Dia nawarinnya 25.000 1 pot,” saya tersenyum lebar dan bangga.
Suami: “Gila kamu, sadis amat. Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu susul itu si bapak sekarang, kamu bayar dia 125.000 tambah upah bawain ke mobil 25.000 lagi. Nih, kamu kejar kamu kasi dia 150.000 !” Suami membentak keras dan marah, saya kaget dan bingung.
Saya: “Tapi…kenapa..?”
Suami: Makin kencang ngomongnya, “Cepetan susul sana, tunggu apa lagi.”

Tidak ingin dibentak lagi, saya langsung turun dari mobil dan berlari mengejar si bapak tua. Saya lihat dia hendak naik angkot di pinggir jalan.
Saya: “Pak……tunggu pak…”
Pedagang: “Eh, neng kenapa ?”
Saya: “Pak, ini uang 150.000 pak dari suami saya katanya buat bapak, bapak terima ya, saya gak mau dibentak suami, saya takut.”
Pedagang: “Lho, neng kan tadi udah bayar 50.000,  bener kok uangnya,” si bapak keheranan.
Saya: “udah bapak terima aja. Ini dari suami saya. Katanya harga bunga bapak pantesnya dihargain segini,” sambil saya serahkan uang 150.000 ke tangannya.
Pedagang: Tiba-tiba menangis dan berkata, “Ya Allah neng…makasih banyak neng…ini jawaban do'a bapak sedari pagi, seharian dagangan bapak gak ada yang beli, yang noleh pun gak ada. Anak istri bapak lagi sakit di rumah gak ada uang buat berobat. Pas neng nawar bapak pikir gak apa-apa harga segitu asal ada uang buat beli beras aja buat makan. Ini bapak mau buru-buru pulang kasian mereka nunggu. Makasih ya neng…suami neng orang baik. Neng juga baik jadi istri nurut sama suami, Alhamdulillah ya Allah. Bapak pamit neng mau pulang…,”  dan si bapak pun berlalu.
Saya: (speechless dan kembali ke mobil).

Sepanjang perjalanan saya diam dan menangis, benar kata suami, tidak pantas menghargai jerih payah orang dengan harga semurah mungkin hanya karena kita pelit. Berapa banyak usaha si bapak sampai bibit itu siap dijual, tidak terpikirkan oleh saya. Sejak itu, saya berubah dan tak pernah lagi menawar sadis kepada pedagang kecil manapun. Percaya saja bahwa rejeki sudah diatur oleh Tuhan.

Ribuan orang menangis membaca cerita ini, pengingat untuk kita yang kadang tidak adil dalam memperlakukan orang lain semena-mena.
Semoga tidak terjadi pada anda..... SEKEDAR MASUKAN BUAT KITA SEMUA.

Nelayan Kecil dan Pengusaha Besar

Pada suatu pagi seorang pengusaha besar bertamasya ke sebuah dermaga kecil di pesisir desa  terpencil, dia bertemu dengan seorang nelayan yang sedang berada diatas sebuah perahu kecil yang berlabuh di dermaga itu. Di dalam perahu kecil itu terdapat beberapa ekor ikan tuna sirip kuning hasil tangkapan si nelayan.

Pengusaha tersebut memuji kualitas ikan tangkapan nelayan tersebut dan bertanya : “Berapa lama waktu untuk menangkap ikan-ikan tersebut pak ?”.

Si nelayan menjawab : “Hanya sebentar tuan, sekitar satu jam berlayar saja”.

Sang pengusaha kemudian bertanya lagi : ”Mengapa bapak tidak berlayar lebih lama lagi dan menangkap lebih banyak ikan?”.

Si nelayan berkata : “Oh tidak tuan dengan tangkapan ikan ini saja sudah cukup untuk menunjang kebutuhan hidup keluarga saya”.

Sang Pengusaha terus bertanya kembali : “Lho kalau bapak cuma berlayar dan mencari ikan dalam waktu 1 jam saja dalam sehari  lalu bagaimana bapak menghabiskan sisa waktu bapak selama hampir 23 jam dalam sehari-hari ?”.

Si nelayan mengatakan : "Saya tidur larut malam, bermain serta bercengkerama dengan isteri & anak-anak saya di siang hari, mengaji di masjid dari maghrib sampai selepas isya’, setelah itu berjalan-jalan keliling desa setiap malam di mana saya bisa minum kopi dan bersenda gurau dengan tetangga-tetangga saya, hari-hari saya sudah sangat sibuk tuan. "

Sang pengusaha tertawa lalu menasehati : "Saya seorang MBA lulusan luar negeri dan telah menjadi pengusaha besar di negeri ini dan saya bisa membantu bapak memberi modal usaha sebuah perahu besar yang modern, sehingga bapak bisa lebih lama mencari ikan di laut dan nantinya tangkapan ikan bapak akan lebih banyak”

Si nelayan balik bertanya :”Kalau hasil tangkapan ikan saya menjadi lebih banyak terus buat apa tuan, sedangkan kebutuhan hidup saya hanya sedikit saja?”

Sang pengusaha menasehati lagi :”Lho kalau tangkapan ikan bapak lebih banyak tentu saja keuntungan bapak akan berlipat-lipat, apalagi kalau bapak bisa mengemas dan menjual ikan hasil tangkapan bapak langsung ke supermarket-supermarket di kota besar”.

Si nelayan bertanya lagi :”Kalau keuntungan yang saya peroleh bisa berlipat-lipat terus uangnya buat apa tuan?”

Sang pengusaha menerangkan :”Kalau bapak punya uang banyak kan bapak bisa bikin pabrik pengolahan ikan sendiri, lalu bapak bisa ekspor ke luar negeri dan kalau bapak menjadi orang yang kaya raya seperti saya kan bapak bisa membeli rumah mewah, mobil mewah dan tinggal di kota besar sehingga bapak tidak lagi menjadi nelayan kecil yang miskin kayak sekarang”.

Si nelayan bertanya lagi :"Tapi tuan, berapa lama kira-kira waktu yang saya butuhkan agar dapat menjadi seperti yang tuan ceritakan itu?"

Sang pengusaha menjawab : " Ya kira-kira kalau bapak benar-benar bekerja keras akan butuh waktu antara 10- 15 tahun."

Si nelayan kembali bertanya :”Bila saya mengikuti nasehat tuan, kemudian dalam 15 tahun saya berhasil menjadi kaya raya apa yang harus saya lakukan tuan ?”

Sang pengusaha tertawa, dan berkata : "Itulah saat yang terbaik untuk istirahat, ketika bapak sudah kaya raya, harta benda bapak sudah berlipat-lipat banyaknya maka jual saja sebagian saham pabrik ikan bapak tadi ke bursa saham, jadi bapak akan menikmati masa tua dengan kekayaan yang luar biasa ! "

Si nelayan bertanya lagi : “Setelah istirahat dari dunia bisnis, apa yang sebaiknya saya lakukan tuan?"

Sang pengusaha tertawa lagi dan berkata : "Setelah bapak pensiun, bapak bisa pindah ke sebuah desa nelayan pesisir kecil yang tenang di mana bapak bisa tidur agak larut malam, , bermain serta bercengkerama dengan isteri & anak-anak bapak di siang hari, mengaji di masjid dari maghrib sampai selepas isya’, bapak bisa menikmati waktu dengan berjalan-jalan keliling desa setiap malam, minum kopi dan bersenda gurau dengan tetangga-tetangga bapak. "

Mendengar uraian sang pengusaha, si nelayan kemudian tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya.

Sang pengusaha heran kemudian bertanya : “Lho kenapa bapak mentertawai saya ?”

Dengan tersenyum si nelayan menjawab : “Karena tuan menyarankan tentang sesuatu yang dapat saya capai setelah 15 tahun yang akan datang, padahal saya sudah mendapatkannya saat ini”.